Terdapat Tokoh-Tokoh Pendidikan Nasional yang berperan aktif serta berkiprah dalam memperjuangkan pendidikan, terutama pendidikan bagi kaum pribumi. Patung tokoh pahlawan pendidikan lengkap dengan biografinya tertera mempunyai gagasan bahkan menciptakan sekolah-sekolah juga beberapa buku.
Adapun Tokoh Pahlawan Pendidikan tersebut dua diantaranya adalah :
1. Kiai Haji Ahmad Dahlan
Kiai Haji Ahmad Dahlan adalah Sang Penggagas lahirnya
Persyarikatan Muhammadiyah pada 8 Dzulhijjah 1330 Hijriyah bertepatan dengan 18
November 1912.
Kyai Haji Ahmad Dahlan atau Muhammad Darwis lahir di
Yogyakarta, 1 Agustus 1868, meninggal di Yogyakarta, 23 Februari 1923 pada umur
54 tahun, beliau adalah seorang Pahlawan Nasional Indonesia. Ia adalah putera
keempat dari tujuh bersaudara dari keluarga K.H. Abu Bakar. KH Abu Bakar adalah
seorang ulama dan khatib terkemuka di Masjid Besar Kasultanan Yogyakarta pada
masa itu, dan ibu dari K.H. Ahmad Dahlan adalah puteri dari H. Ibrahim yang
juga menjabat penghulu Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat pada masa itu.
Muhammad Darwisy dilahirkan dari kedua orang tua yang
dikenal sangat alim, yaitu KH. Abu Bakar (Imam Khatib Mesjid Besar Kesultanan
Yogyakarta) dan Nyai Abu Bakar (puteri H. Ibrahim, Hoofd Penghulu Yogyakarta).
Pada tahun 1912, Ahmad Dahlan pun mendirikan organisasi
Muhammadiyah untuk melaksanakan cita-cita pembaruan Islam di bumi Nusantara.
Ahmad Dahlan ingin mengadakan suatu pembaruan dalam cara berpikir dan beramal
menurut tuntunan agama Islam. la ingin mengajak umat Islam Indonesia untuk
kembali hidup menurut tuntunan al-Qur'an dan al-Hadits. Perkumpulan ini berdiri
bertepatan pada tanggal 18 November 1912. Dan sejak awal Dahlan telah
menetapkan bahwa Muhammadiyah bukan organisasi politik tetapi bersifat sosial
dan bergerak di bidang pendidikan.
Selain aktif dalam menggulirkan gagasannya tentang gerakan
dakwah Muhammadiyah, ia juga dikenal sebagai seorang wirausahawan yang cukup
berhasil dengan berdagang batik yang saat itu merupakan profesi wiraswasta yang
cukup menggejala di masyarakat.
Ia dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-11 pada 27
Desember 1961 melalui Keppres No. 657 Tahun 1961. (Baca selengkapnya di:
"Biografi Kyai Haji Ahmad Dahlan - Penggagas Lahirnya Muhammadiyah")
2. Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara adalah tokoh pahlawan nasional yang lahir di Yogyakarta, 2 Mei 1889 yang
meninggal di Yogyakarta, 26 April 1959 pada umur 69 tahun. Sebelum tahun 1922
namanya adalah Raden Mas Soewardi Soerjaningrat (EYD: Suwardi Suryaningrat).
Ki Hajar Dewantara atau biasa disingkat sebagai
"Soewardi" atau "KHD" adalah aktivis pergerakan kemerdekaan
Indonesia, kolumnis, politisi, dan pelopor pendidikan bagi kaum pribumi
Indonesia dari zaman penjajahan Belanda. Ia adalah pendiri Perguruan Taman Siswa,
suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi jelata
untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para priyayi maupun
orang-orang Belanda.
Tanggal kelahirannya sekarang diperingati di Indonesia
sebagai Hari Pendidikan Nasional. Bagian dari semboyan ciptaannya, tut wuri
handayani, menjadi slogan Kementerian Pendidikan Nasional Indonesia. Namanya
diabadikan sebagai salah sebuah nama kapal perang Indonesia, KRI Ki Hajar
Dewantara. Potret dirinya diabadikan pada uang kertas pecahan 20.000 rupiah
tahun emisi 1998.
Ia dikukuhkan sebagai pahlawan nasional yang ke-2 oleh
Presiden RI, Soekarno, pada 28 November 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik
Indonesia No. 305 Tahun 1959, tanggal 28 November 1959).
Masa muda dan awal karier
Soewardi berasal dari lingkungan keluarga Keraton
Yogyakarta. Ia menamatkan pendidikan dasar di ELS (Sekolah Dasar
Eropa/Belanda). Kemudian sempat melanjut ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera),
tapi tidak sampai tamat karena sakit. Kemudian ia bekerja sebagai penulis dan
wartawan di beberapa surat kabar, antara lain, Sediotomo, Midden Java, De
Expres, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda, Tjahaja Timoer, dan Poesara. Pada
masanya, ia tergolong penulis handal. Tulisan-tulisannya komunikatif dan tajam
dengan semangat antikolonial.
Aktivitas pergerakan
Selain ulet sebagai seorang wartawan muda, ia juga aktif
dalam organisasi sosial dan politik. Sejak berdirinya Boedi Oetomo (BO) tahun
1908, ia aktif di s3ksi propaganda untuk menyosialisasikan dan menggugah
kesadaran masyarakat Indonesia (terutama Jawa) pada waktu itu mengenai
pentingnya persatuan dan kesatuan dalam berbangsa dan bernegara. Kongres
pertama BO di Yogyakarta juga diorganisasi olehnya.
Soewardi muda juga menjadi anggota organisasi Insulinde,
suatu organisasi multietnik yang didominasi kaum Indo yang memperjuangkan
pemerintahan sendiri di Hindia Belanda, atas pengaruh Ernest Douwes Dekker
(DD). Ketika kemudian DD mendirikan Indische Partij, Soewardi diajaknya pula.
Sewaktu pemerintah Hindia Belanda berniat mengumpulkan
sumbangan dari warga, termasuk pribumi, untuk perayaan kemerdekaan Belanda dari
Perancis pada tahun 1913, timbul reaksi kritis dari kalangan nasionalis,
termasuk Soewardi. Ia kemudian menulis "Een voor Allen maar Ook Allen voor
Een" atau "Satu untuk Semua, tetapi Semua untuk Satu Juga".
Namun kolom KHD yang paling terkenal adalah "Seandainya Aku Seorang
Belanda" (judul asli: "Als ik een Nederlander was"), dimuat
dalam surat kabar De Expres pimpinan DD, 13 Juli 1913. Isi artikel ini terasa
pedas sekali di kalangan pejabat Hindia Belanda. Kutipan tulisan tersebut
antara lain sebagai berikut.
Sekiranya aku seorang
Belanda, aku tidak akan menyelenggarakan pesta-pesta kemerdekaan di negeri yang
telah kita rampas sendiri kemerdekaannya. Sejajar dengan jalan pikiran itu,
bukan saja tidak adil, tetapi juga tidak pantas untuk menyuruh si inlander
memberikan sumbangan untuk dana perayaan itu. Ide untuk menyelenggaraan
perayaan itu saja sudah menghina mereka, dan sekarang kita keruk pula
kantongnya. Ayo teruskan saja penghinaan lahir dan batin itu! Kalau aku seorang
Belanda, hal yang terutama menyinggung perasaanku dan kawan-kawan sebangsaku
ialah kenyataan bahwa inlander diharuskan ikut mengongkosi suatu kegiatan yang
tidak ada kepentingan sedikit pun baginya.
Beberapa pejabat Belanda menyangsikan tulisan ini asli
dibuat oleh Soewardi sendiri karena gaya bahasanya yang berbeda dari
tulisan-tulisannya sebelum ini. Kalaupun benar ia yang menulis, mereka
menganggap DD berperan dalam memanas-manasi Soewardi untuk menulis dengan gaya
demikian.
Akibat tulisan ini ia ditangkap atas persetujuan Gubernur
Jenderal Idenburg dan akan diasingkan ke Pulau Bangka (atas permintaan
sendiri). Namun demikian kedua rekannya, DD dan Tjipto Mangoenkoesoemo,
memprotes dan akhirnya mereka bertiga diasingkan ke Belanda (1913). Ketiga
tokoh ini dikenal sebagai "Tiga Serangkai". Soewardi kala itu baru
berusia 24 tahun.
Dalam pengasingan
Dalam pengasingan di Belanda, Soewardi aktif dalam
organisasi para pelajar asal Indonesia, Indische Vereeniging (Perhimpunan
Hindia).
Di sinilah ia kemudian merintis cita-citanya memajukan kaum
pribumi dengan belajar ilmu pendidikan hingga memperoleh Europeesche Akte,
suatu ijazah pendidikan yang bergengsi yang kelak menjadi pijakan dalam
mendirikan lembaga pendidikan yang didirikannya. Dalam studinya ini Soewardi
terpikat pada ide-ide sejumlah tokoh pendidikan Barat, seperti Froebel dan
Montessori, serta pergerakan pendidikan India, Santiniketan, oleh keluarga
Tagore. Pengaruh-pengaruh inilah yang mendasarinya dalam mengembangkan sistem
pendidikannya sendiri.
Taman Siswa
Soewardi kembali ke Indonesia pada bulan September 1919.
Segera kemudian ia bergabung dalam sekolah binaan saudaranya. Pengalaman
mengajar ini kemudian digunakannya untuk mengembangkan konsep mengajar bagi
sekolah yang ia dirikan pada tanggal 3 Juli 1922: Nationaal Onderwijs Instituut
Tamansiswa atau Perguruan Nasional Tamansiswa. Saat ia genap berusia 40 tahun
menurut hitungan penanggalan Jawa, ia mengganti namanya menjadi Ki Hadjar
Dewantara. Ia tidak lagi menggunakan gelar kebangsawanan di depan namanya. Hal
ini dimaksudkan supaya ia dapat bebas dekat dengan rakyat, baik secara fisik maupun
jiwa.
Semboyan dalam sistem pendidikan yang dipakainya kini sangat
dikenal di kalangan pendidikan Indonesia. Secara utuh, semboyan itu dalam
bahasa Jawa berbunyi ing ngarso sung tulodo, ing madyo mangun karso, tut wuri
handayani. ("di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di
belakang memberi dorongan"). Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia
pendidikan rakyat Indonesia, terlebih di sekolah-sekolah Perguruan Tamansiswa.
Pengabdian pada masa
Indonesia merdeka
Dalam kabinet pertama Republik Indonesia, KHD diangkat
menjadi Menteri Pengajaran Indonesia (posnya disebut sebagai Menteri
Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan) yang pertama. Pada tahun 1957 ia
mendapat gelar doktor kehormatan (doctor honoris causa, Dr.H.C.) dari
universitas tertua Indonesia, Universitas Gadjah Mada. Atas jasa-jasanya dalam
merintis pendidikan umum, ia dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional
Indonesia dan hari kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan Nasional (Surat
Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28 November 1959).
Ia meninggal dunia di Yogyakarta tanggal 26 April 1959 dan
dimakamkan di Taman Wijaya Brata. (sumber: Wikipedia bahasa Indonesia -
Ensiklopedia bebas)